H-5: Alumnus STM, Insinyur Jaringan

Ternyata memang sulit untuk bisa nulis dan nge-post tulisan setiap hari. Akhirnya saya pun sadar akan peliknya dunia orang dewasa seperti yang sudah saya karang sendiri dalam H-6: Sudah Sampai Mana Sekarang. Padahal draftnya sudah siap kemarin malam, cuman entah kenapa rasanya ia belum cukup pantas untuk mengudara. Mungkin begitulah peringai orang dewasa di mata jenaka para bocah: Tidak asik, terlampau banyak kalkulasi.

***

Saya selalu gagap gempita setiap kali diminta bos ngutak-ngatik komputernya yang lagi kena gangguan jaringan. Hanya saja setiap ada perintah, maka dengan sigap saya pun akan otomatis klak-klik sana-sini, mengecek sambungan kabel, mengulur waktu agar tetap dianggap fasih teknologi sambil berusaha sekuat otak mengingat kembali icon mana saja yang di klik oleh Mas-Mas teknisi jaringan waktu internet saya yang macet. Kalau bukan karena malu dan enggan dicap sebagai pemuda gagap teknologi, pasti sudah saya telepon para teknisi yang selalu ramah serta murah salam juga sapa itu.

Senin sore kemarin, salah satu teknisi jaringan bertandang ke ruangan kami yang baru saja selesai direnovasi. Tidak seperti biasanya, kendala jaringan kali ini sepertinya cukup rumit. “Lagi minta reset IP port LAN ini Mas, biar bisa ganti perangkat. Dari tadi udah di-reset sama teman, cuman ini belum mau nyambung.”, begitu katanya sambil kembali mengulang prosedur ngecek aplikasi whatsapp – nusuk peniti ke lubang reset perangkat – geleng-geleng kepala, begitu terus setiap beberapa menit.

“Minta reset IP port LAN, maksudnya gimana Mas?” Saya pun membuka obrolan demi mengingat salah satu “Visi Saya di Tahun 2019” itu ada sangkut-pautnya dengan teknologi informasi. “Oh, gini Mas, kurang-lebih dua tahun lalu ada kebijakan kantor bahwa setiap satu port LAN (Local Area Network) itu dedicated untuk satu perangkat. Port ini kan kemarin untuk router disini, ini mau diganti ke access point ini”, begitu penjelasan beliau sambil nunjuk alat pelontar sinyal wifi disampingnya.

Maka terselenggaralah obrolan dan praktik jaringan saya sore itu. dimulai dari, apa itu port? Beda WAN dan LAN, morfologinya serta analoginya. Beda router, switch, dan hub? internet itu sebenarnya benda macam apa, kalau listrik punya generator dan pembangkit, nah gimana dengan internet, bagaimana cara dia terbentuk? Bukannya listrik dan internet sama-sama mengalir via kabel? Mengapa fiber optik? Analogi bandwidth, mengapa dia mahal, mengapa kecepatan akses kita kalah dengan negara lain. Dan akhirnya menjelang maghrib, sesi itu diakhiri dengan praktik memasang dan men-setting router/switch/hub untuk membagi akses jaringan internet rumahan ke beberapa rumah.  Diskusi serta pertanyaan “tabu” tersebut sebenarnya yang sedari dulu mau saya tanyakan ke teman-teman yang paham, tapi selalu malu karena takut dibilang, “yaelah Dhan, masak gitu aja nda tau?” Kawan, sudah bolak balik saya baca hal-hal di atas itu pas  jaman  kuliah dulu, tapi belum pernah saya se-mafhum kemarin.

****

Mas Imam Jaringan, begitu nama beliau di data kontak telepon kawan saya. Seorang Alumnus STM Jurusan Elektro. Di sela-sela kesibukannya memastikan kesehatan jaringan di kantor kami, beliau sukses menyelesaikan studi sebagai insinyur jaringan. Waktu saya tanya kenapa milih spesialisasi jaringan bukannya pemrograman? “Saya mikirnya sederhana aja Mas waktu itu, kalau jaringan (internet) nya saya putus, semua aplikasi programmer kan nda ada gunanya Mas. Jadi saya harus bisa nguasain jaringan Mas”, begitu katanya.

Dan sore kemarin, beliau saya nobatkan menjadi guru jaringan dan perangkat keras saya. Setahu saya, tidak banyak teknisi yang fasih menjelaskan teori dan definisi lengkap dengan analogi sederhana, pun dosen-dosen saya di kampus dulu. Lantas saya tanya kenapa nda coba-coba ngajar di kampus, kan lumayan kalau jadi asisten dosen. Jawabannya singkat, di kantor seringnya sampai malam Mas, nda sempat lagi”.

*****

  1. No trackbacks yet.

Leave a comment