Archive for the ‘ Ekspedisi Karst Maros STAPALA 2017 ’ Category

Tentang Dulu, Kini dan Nanti: Para Penarik Garis dan Para Penarik Duit

Satu hal yang senantiasa saya syukuri adalah kesempatan untuk mencicipi setahun kehidupan kampus di Kampus Merah Universitas Hasanuddin (Unhas) sebelum menjadi Mahasiswa Calon Punggawa Keuangan Negara di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Kampus Ali Wardhana. Satu tahun yang suka tidak suka menjadi satu garis waktu yang sangat berharga dalam hidup saya. Setahun ditempa untuk menjadi Anak Teknik dengan belaian fisik dan mental, waktu itu di ujung-ujung masa kebebasan Mahasiswa berekspresi dan bereksperimen jauh di luar marwah penelitian dengan pembenaran pengabdian masyarakat, yaitu sebagai Agent of Change, Social Control dan Moral Force. Ohya, apa kabar pergerakan mahasiswa ini hari?

Setahun yang berharga itu status akademik resmi saya  adalah sebagai Mahasiswa Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota (PWK), Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (FT-UH). Kampus adalah tempat kami belajar menghubungkan titik dengan tarikan garis, satu persatu hingga menjadi sebuah rancang bangun ataupun master plan wilayah di atas kertas, untuk kemudian disulap menjadi sebuah karya nyata dengan bantuan Bapak Tukang, Om Mandor dan tentunya Bos Konsultan dan Kontraktor yang Budiman.

***

“Anak Teknik yang kebetulan kuliah di Jurusan Arstiktur”. Itu Dogma yang yang harus kami telan bulat-bulat dulu dalam pergaulan tingkat Fakultas. Kalau dalam pergaulan intra jurusan beda lagi ceritanya, saya dan teman-teman Program Studi (Prodi) Pengembangan Wilayah Kota (PWK) ditabukan untuk mengaku sebagai Anak PWK, karena yang ada hanya Anak Arsitektur. Saking tabunya, pada satu pengumpulan jurusan pada awal-awal setahun masa pengkaderan Calon Anak Teknik (pengumpulan itu sebutan dimana para senior pembimbing mengumpulkan junior bimbingannya pada suatu waktu dan tempat tertentu untuk menerima arahan ataupun belaian fisik juga mental), Kanda Senior melakukan sweeping kontak handphone para junior. Cilakanya, saya tercyduk menyimpan nomor kontak kepala jurusan dengan nama “PWK Pak Syam Amin Runa”, Bukan “Arch Pak Syam Amin Runa”. Maka saya pun mendapat belaian fisik dan mental ekstra dibanding teman-teman yang lain.

Pengkaderan Anak Teknik, sebuah proses indoktrinasi dengan sistematika konsep dan implementasi yang menurut saya sangat rapih. Sampai detik ini, kagum saya tidak pernah luntur tentang konsep skenario dan pembagian peran para Kanda Senior itu. Yang belakangan waktu teman-teman sudah pada posisi Kanda Senior dan membimbing Dinda Junior, pengakuan mereka adalah bahwa peran Kanda Senior itu jauh lebih susah dan pelik ketimbang pasrah menjadi Dinda Junior dalam menerima tempaan dan belaian fisk serta mental.

Experiental Learning, itu kira-kira isitlah yang tepat untuk menggambarkan proses kreatif Kanda Senior dalam membimbing dan membina(sakan) Dinda Junior. Mereka dituntut untuk tampil sempurna dalam Lakon-Lakon Pembinaan Dinda-Dinda Junior dalam Pagelaran Akbar Proses Pengkaderan Anak Teknik. Kadang tidak peduli dengan segala keterbatasan pengetahuan dan keahlian, pun ditengah keterhimpitan waktu, nan perubahan konsep mendadak karena ada yang salah picca  (ketika ada senior yang tiba-tiba masuk ke dalam skenario dan mengacaukan konsep sehingga cucok-logi ekstra lihai mutlak dibutuhkan untuk memaksa konsep dan skenario kembali ke trek). Proses yang bermula dari tahun kedua di kampus hingga Naik Pentas Wisuda  di Baruga AP Pettarani Kampus Unhas Tamalanrea. Experiental Learning, Sebuah proses yang hingga kini belum saya temui pada kurikulum akademik pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi kita dan diajarkan di muka kelas.

***

Saya ingat betul itu malam, pasca pengumpulan di bawah Gedung POMD (Persatuan Orang Tua Mahasiswa dan Dosen) yang jadi sekretariat Senat Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan, Kanda Senior memberi kami tugas mengubah uang seratus ribu menjadi dua juta dalam semalam. Bagaimanapun caranya, modal kerja itu harus beroleh untung satu juta embilan ratus dalam tempo sehari semalam. Titik. Sebuah proses kreatif yang waktu kami lakoni dulu itu sambil bersimbah sumpah serapah kepada Kanda Senior, tanpa terkecuali. Tetapi kini, setelah jauh di depan dan sejenak menengok ke balakang, saya yakin kalau saya tidak sendiri menjadi orang yang diam-diam mengulum pesan terima kasih dalam senyum.

Intinya usaha dulu. ‘Iya’ dulu saja yang disorongkan jauh-jauh ke muka, ‘tapi’ itu tinggal jauh-jauh saja di belakang. Jangan banyak mengeluh, kita pasti bisa…dan sebagainya. Itu pesan klise yang tersirat dalam penggalan lakon “Bagaimana Cara Menanam Benih Optimisme”, yang kalau dibahas terus sehari semalam nda akan cukup pasti.  Sederhananya, berhenti membahas ide dan konsep. Kau sebagai junior berambut Gundul, kerjamu itu nurut. Laksanakan Cilaka!  Kalau tidak maka kena belai manja senior. Begitu sudah. Titik.

Setahun bersama menjadi Objek Pagelaran Lakon Kanda Senior membuat saya secara pribadi menemukan rumah dan keluarga  pada teman-teman se-jurusan Arsitektur 2007 FT-UH. Benar kata Si Bijak bahwa susah sama-sama itu yang membuat ikatan persaudaraan jauh lebih dekat. Lebih erat. Dan benar saja, setelah sepuluh tahun saling kenal, dari lulusan SMA-ingusan yang suka tebar pesona curi perhatian kaum “pecah belah” (sebutan wanita untuk Anak Teknik) yang seangkatan, hingga kini beberapa yang usahanya sudah berlanjut ke pelaminan dan menganugerahi kami ponakan yang lutu-lutu, kami masih tetap saling menjaga silaturahim layaknya keluarga. Ah, senang betul saya dulu dikasi kesempatan nyicip dan nyandang predikat sebagai Anak Teknik yang kebetulan kuliah di Jurusan Arsitektur. Betul senang.

***

Bulan Puasa di tahun 2008 Masehi, antara senang dan (jujur saja tidak begitu) sedih, saya menerima kenyataan bahwa saya diterima sebagai Calon Mahasiswa Jurusan Akuntansi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Saya pun bersiap diri bertransfomrasi dari Anak Teknik yang Jantan nan Maskulin meskipun jarang mandi, menjadi Calon Punggawa Keuangan Negara, sebuah predikat yang selain sedikit agak ‘langitan’ juga tidak nyaman untuk dilisankan. Coba saja bandingkan dengan ANAK TEKNIK. Singkat, jelas, padat, dan tentu saja jantan. Aih begitumi lah ceritanya.

Yang pasti waktu itu saya merasa saya cukup sukses menjalani proses transformasi itu, meskipun sampai menit ini, setelah lulus program D III, kerja tiga tahun beberapa bulan, trus balik ngampus di STAN lagi untuk program D IV, sebutan Calon Punggawa Keuangan Negara masih susah untuk saya banggakan ke khalayak. Kalau disuruh milih sebutan, saya haqqul yaqin memilih ANAK TEKNIK. Dan sambil diam-diam bersyukur karena sejak 2016 STAN berubah nama jadi POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA, jadi kalau ditanya anak apaki’? bisaja’ menjawab, anak TEKNIK. TEKNIK Pengelolaan Keuangan Negara 🙂

Dan jujur saja saya belum bisa move on sebagai Anak Teknik hingga pada tahun ketiga saya di kampus Ali Wardhana. Sampai waktu itu saya diterima sebagai menjadi salah satu anggota keluarga besar STAPALA. Sebuah Kelompok Pecinta Alam. Yang kelakuannya menurut saya sebelas dua belas sama Anak Teknik, menjadi berbeda di antara ramai mahasiswa yang seragam, seragam dihantui setan bernama Drop Out (DO). Berbeda di antara mahasiswa berseragam rapih dan rajin cuci badan pakai sabun pun gosok gigi sebelum ngampus. Dan pada titik itulah saya rela menyimpan predikat yang sebenarnya tidak berhak lagi saya sandang, Antek (Anak teknik), dan dengan hati mekar berbunga mengaku bangga menebar kabar ke khalayak, sebut saya Anak STAPALA 🙂

***

Nama lapangan saya di STAPALA itu Bowas. Sebuah tradisi yang terus berlanjut dari akhir tujuh puluhan hingga adik-adik calon anggota angkatan 2018 yang kalau tidak salah minggu ini akan memperoleh julukan baru dalam hidupnya seperti kami para seniornya. Sama seperti di teknik dulu, disini juga saya berjumpa kembali dengan experiental learning, yang sudah semakin asing buat anak STAN akibat terlampau sering digempur intimidasi DO.

Dan bersyukurnya saya karena memutuskan untuk menjadi anggota STAPALA sebelum lulus dan kerja menjadi punggawa keuangan negara beneran. Karena kerja saja buat saya tidak akan pernah cukup. Saya butuh lahan bermain. Dan STAPALA adalah lahan bermain yang paling nyaman buat saya dan mungkin juga buat senior-senior saya yang lain. Bermain di dalamnya tidak akan berujung dicap kekanak-kanakan karena mainannya sarat dengan permainan high risk yang menuntut well prepared planning dan menjunjung tinggi prinsip safety first dalam setiap permainannya. Dan lebih beruntungnya lagi, sambil bermain saya menjadi dekat kepada orang-orang “aneh” yang gemar berbagi kemanfaatan kepada sekitar. Dan Alhamdulillah, saya ketularan.

Saya tergabung dalam divisi susur gua (caving) tetapi menjadi lebih ‘nggunung’ karena sepertinya lebih paham ilmu ‘nggunung’ dibanding kompleksitas speleology. Mungkin karena selain Anak Gunung lebih terkesan jantan dan cuek, menjadi anak goa itu berarti harus terlatih untuk permainan dengan standar safety paling kompleks (setahu saya). Keahlian dalam tali temali adalah harga mati. Belum lagi prosedur evakuasi (untuk goa vertikal) yang kompleks. Pun ritual cuci alat (yang jujur saja) paling menjengkalkan, karena saking banyaknya alat yang harus dicuci pasca penelusuran, sebut saja tali kernmantel statis yang kaku-kaku, webbing, set ascending dan descending serta set anchor yang harus tetap bersih, karena pengabaiannya sama juga artinya dengan mengabaikan keselamatan tim penelusur. Tetapi dengan semangat menjadi idaman mertua, karena punya beragam variasi kombinasi jenis ikatan tali -jemuran bekal skill tali-temali yang paling kumplit, maka menjadi caver adalah sebuah pilihan yang paling menyenangkan pikir saya waktu itu.

***

Hingga akhirnya di penghujung 2017 ini, tunai sudah impian saya (kami) sebagai caver  Indonesia yang telah menunaikan penelusuran Leang Pute di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Maros, Goa Single Pitch (Goa Vertikal dengan satu anchor dari mulut ke dasar) dengan lebar mulut 50-80 meter dan kedalaman dari mulut ke dasar mencapai 270 meter. Sebuah ekspedisi yang awalnya mulai disuarakan sejak tahun 2010 kalau tidak salah. Dan beruntungnya kami karena sebagai tim ekspedisi dititipi kesempatan menjajal experiental learnig menjadi peneliti sosio-ekonomi masyarakat Dusun Sekitar Leang Pute, Dusun Pattiro,  mengumpulkan data untuk pembinaan keuangan kelompok usaha desa/dusun (Titipan Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PKN STAN)  dan juga sebagai surveyor pembangunan prasarana fisik kawasan eko wisata di Dusun Pattiro, Desa Labuaja, Kabupaten Maros (Titipan BUMN XYZ untuk proyek CSR). Inilah yang saya sebut tadi, sambil bermain kami gemar berbagi manfaat kepada sekitar 🙂

***

Ini hari, Tepat Dua minggu saya di tanah Sulawesi. Seminggu bersama teman-teman STAPALA. Dan Seminggu lagi bersama Anak Teknik yang Kebetulan Kuliah di Jurusan Arsitektur FT-UH, tepatnya di Studio Dawala Consultant (sebuah perusahaan perencanaan dan arsitektur bikinan teman-teman angkatan, yang kini juga sekaligus menjadi studio angkatan kami). Bersyukurnya saya karena pernah jadi Anak Teknik. Karena untuk menjadi bermanfaat ternyata tidak cukup dengan menjadi punggawa keuangan negara  saja dengan segala tetek bengek obrolan tentang duit negara, baik di STAPALA pun di tempat tongkrongan anak-anak STAN. Kita ternyata butuh ‘kenalan baik’ lainnya di luar cangkang kebanggaan sebagai para calon dan punggawa keuangan negara untuk ngasi manfaat yang lebih maksimal. Harga mati itu menurutku’.

Maka dari itu, bersyukurnya saya pernah jadi Anak Teknik yang kebetulan kuliah di Jurusan Arsitektur FT-UH, karena ladang bermain kami di STAPALA pada kesempatan ini tidak hanya tentang teknik penelusuran gua sarat pencapaian karena sudah menjejak dasar gua single pitch terdalam di NKRI, tapi juga berhubungan dengan perencanaan dan arsitektur pengembangan kawasan eko-wisata, kearifan lokal masyarakat dan pengelolaan keuangan kelompok masyarakat di Dusun Pattiro. Terima kasih para ‘penarik garis’ AnanakaTawwaArsitektur 2007 FT-UH di Dawala Consultant yang sudah sempatkan waktu untuk sesi diskusi padat dan bergizi tentang manajemen perubahan pada masyarakat yang akan menjadi sasaran pengembangan dan pembangunan prasarana dan sarana fisik. juga untuk sekilas rupa perencanaan kawasan eko wisata dan feasibilitasnya.

Terima kasih senior-senior ‘penarik duit’, baik yang masih sebagai PNS di Kementerian Keuangan yang tugasnya narikin dan juga ngelola duit pajak, bea dan cukai, ataupun sebagai profesional di berbagai lembaga yang sudah ngasi ide Creative Social Responsibility (make duit Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan) dan Pengabdian masyarakat plus beli sourvenir ekspedisi Karst Maros STAPALA 2017. Kalau kolaborasi para “penarik garis” dan “penarik duit” saja bisa ngasi manfaat yang menurut saya bisa se-ketje ini. apalagi kalau kolaborasi lebih banyak ‘kenalan baik’ lainnya, bisa ngapain lagi kita nanti.

Maka khalayak yang budiman, mari menambah ‘kenalan baik’ dan menjunjung tinggi pesan moral The Panas Dalam dalam nomor andalannya dalam album merunduk, Jangan Sombong. Karena dengan begitu saya yakin Republik ini pun turut senang, karena kita sudah turut membantu mengurai satu benang kusut kompleksitas ketertinggalan di tengah mewah potensi sumber daya alam kita. Merdeka!

PS: Dirgahayu STAPALA ke-38, 24 November 1979 –  24 November 2017. Selamat Satu Dekade AnanakaTawwaArstitektur FT-UH 2007.

 

Dirangkai katanya pada penerbangan JT-871 UPG-CKG pukul 09.00 WITA -10.20 WIB
Disempurnakan konteks dan ejaannya di Posko STAPALA hingga sekitar pukul 21.43 WIB
Pada hari Jum’at, 5 Rabiul Awwal 1439 Hijriah, bertepatan dengan 24 November 2017 Masehi