“Udah tua kita Boi, kau 30 aku 31, hahaha …”, begitu katanya.
***
Kemarin, saya jumpa kawan lama. Dari catatan saya, kami saling kenal setidaknya sejak 16 Oktober 2008 lalu di kos-kosan dua-lantai, di sebuah sudut Kampung Jurangmangu, Tangerang Selatan.
Setelah akrab, bersama kami selalu merayakan “berbeda” nya kami dari arus utama moda pergaulan. Kami melarat, tapi berambisi punya label gaul. Tapi bukan gaul yang biasa seperti kebanyakan kawula muda di jaman itu. Gaul yang tetap keren walau pas-pasan. Agar mudah dipahami, mungkin kami mendefinisikan diri sebagai anak “indie” Ibu Kota pada jaman itu.
***
Sebut saja dia Si Tuan. Malam ini Beliau hadir bersama Nyonya. Kata Si Nyonya, “ini harinya Dhani”. Maka saya diharamkan menebus kudapan, makanan dan minuman di warung makan indomie yang kini sedang terus naik daun di bilangan Raden Saleh, salah satu tempat kongkow “anak indie” arus-utama Ibu Kota pada jaman ini.
***
Pertama kali naik gunung, saya ya sama Beliau ini. Waktu itu di ujung Desember tahun 2009, kami naik Gede via Jalur Gunung Puteri sebagai peserta pendakian umum STAPALA. Di tengah jalur pendakian kami jumpa barisan prajurit muda ber-helm baja yang sedang latihan fisik dan kebugaran di medan pegunungan. Kalau mereka banyak istirahat, sepengamatan kami Bapak pelatih mereka akan tidak tinggal diam.
Pertama kali backpacking juga sama Tuan ini. Waktu itu 14-21 Maret 2010, kami “menggembel” dengan rute Jakarta-Bandung-Jogja-Klaten-Jogja-Solo-Malang-Lawang.
Kami menikmati bahagianya dicuekin SPG penyampai brosur di Paris van Java Bandung (mungkin karena saking kucelnya kami pasca jalan kaki dengan rute Cisitu-Simpang Dago-Gedung Sate-St. Kiaracondong-Cihampelas Walk-Sukajadi (RS Hasan Sadikin)- Paris van Java), menerima tumpangan dan traktiran kawan SMA di kawasan ITB, ngerepoti kawan kuliah di Klaten (ngebajak liburannya buat anterin kami keliling jogja), ngerepoti kawan SMA lagi di UPN Veteran Jogja sampai diajak ke Inaugurasi Mahasiswa Baru Perminyakan di Kaliurang, lantas kehabisan duit di St. Solo Balapan, dan akhirnya jalan kaki lagi keliling kota Solo sekalian menuju St. Solo Jebres. Demi apa? demi keabsahan memenuhi definisi backpacker kami kala itu, menenteng tas ransel, jalan kaki keliling kota, nda pake peta – yakin akan plang hijau penunjuk arah jalan & nanya orang-orang di pinggir dan simpang jalan, berbekal modal pas-pasan serta dengan senang hati menerima tumpangan kendaraan, penginapan dan juga sedekah kawan-kawan di kota tujuan singgah.
***
Kami punya lanjutan kisah tentang hutan dan gunung. Alhamdulillah, di Sabtu Pagi , 19 Mei 2012 kami sempat berbagi susu coklat hangat dan potongan silverqueen di Puncak Mahameru. Rabu Subuh, 28 Mei 2014 kami pernah masak sarapan bareng di Camp Waifuku, sebuah dataran yg berjarak beberapa menit perjalanan ke pucuk gugus kepulauan Maluku, Puncak Binaiya.
Berbekal itu, akhirnya pada Sabtu-Ahad, 27-28 Juli lalu, Si Tuan ngajak Si Nyonya ke Gunung Gede via Jalur Cibodas. Berkisahlah mereka tentang pendakian perdana mereka bersama. Si Nyonya sempat ngambek katanya karena dilarang sering-sering istirahat. “Nanti malah berat kalau mau jalan lagi”, kata Si Tuan bercerita. Dicatutlah nama-nama kami yang dulu bareng di Gede, Semeru dan Binaiya, dan dikisahkanlah tentang kebiasaan kami dulu yang katanya jarang istirahat kalau lagi naik gunung.
Sekadar info, dulu itu bukannya saya nda capek, cuman karena dulu dipandang kuat dan tangguh dalam perjalanan itu “masih” menjadi kebutuhan primer di hadapan kawan-kawan, maka serupa itulah peringai saya di perjalanan. Dan cilakanya teman-teman juga menyambut ajakan jarang istirahat itu.
Maka mohon maaf saya buat Si Nyonya, jangan kapok untuk kembali meniti langkah di punggungan bukit, menuju puncak dan kemudian turun kembali dengan selamat ke Basecamp. Karena saya masih percaya dengan kaidah klise, “salah satu cara terbaik mengenal kawan itu adalah dengan mendaki gunung, bersama”.
***
Dari sore pukul 4 lebih kami jumpa dan baru usai setelah lewat pukul 9. Nostalgia tentang masa muda yang meskipun kere tapi banyak angkuhnya. Selain dilarang menebus setiap menu yang kami jejalkan ke dasar lambung , saya juga dihadiahi dua buah buku. Kawan yang baik adalah mereka yang turut membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik. Dan memberi buku untuk dibaca buat bekal menjalani hidup, adalah salah satunya.
Selanjutnya, kalau ada panutan saya dalam ilmu kerendahan hati, maka si Tuan ini salah satu yang paling menyolok. Sebagai pejabat yang setiap tahun wajib ngisi dan nyerahin laporan harta kekayaan ke KPK, Beliau masih bangga membelah Ibu kota dengan Honda Supra Fit-nya, sejak jaman kuliah nan kere dulu sampai sekarang sudah berkeluarga. Dan ajaibnya Si Nyonya pun nda keberatan diajak keliling kota pake supra fit. Sedikit antik memang dan juga agak berbeda dibanding kebanyakan kaumnya.
Si Tuan ini juga pantang berbangga dengan tempat kerjanya dan lebih senang disebut “Tukang Cuci Sepatu” waktu dulu punya toko sepatu saat mengabdi di ujung timur Kalimantan. Atau sebagai “Penjual Kopi” begitu Kedai Kopi besutan Tuan dan Nyonya ini nanti sudah mulai menerima pembeli di Kota Malang.
Cita-cita Tuan dan Nyonya ini sederhana saja. Punya Bisnis dan mau keliling dunia. Sebagai sahabat, senang rasanya melihat si Tuan bisa jumpa dengan Nyonya nan unik ini dan bisa tetap menjadi ‘pasangan indie’ yang pantang melaju di arus utama belantika hidup Ibu Kota. Mudah-mudahan kalau umur kita dipanjangkan, bolehlah kita tengok lagi episode hidup 20’an dan 30’an kita. Nanti, di puncak masa muda, insyaaAllah.
****
Begitulah sudah, kejadian Sabtu sore hingga malam kemarin, 6 Shafar 1441 Hijriyyah atau 5 Oktober 2019 Masehi. Terima kasih buat kudapan, makanan dan minuman untuk usus dan otot saya; buat buku untuk pikiran dan hati saya; buat nostalgia untuk masa depan saya; dan juga buat sharing mimpi dan perspektif hidup untuk pijakan saya di hari ini.
jadi, kapan kita kemana (lagi) Boi?
*****