Integritas

“Coba Manusia ini tingkatkan harga diri. Akan susah kalau kemanusiaan kita tidak ada. Tidak masalah kalau saya tidak makan, yang penting orang lain bisa makan. itu Kebahagian.”. Demikian Ujar Beliau di ujung-ujung sesi obrolan kita sedari sore hingga larut malam ini.

***

Sore tadi saya berangkat dengan keyakinan bahwa saya akan memberikan masukan atas pengelolaan keuangan desa. Agar Bendahara Desa menjalankan perannya menguji tagihan yang akan dibayarkan. Jangan lagi rela sebatas menjadi pencari kwitansi atas belanja yang sebenarnya tidak pernah ada.

Tapi ternyata saya salah. Alhamdulillah.

***

Pada akhirnya saya-lah yang belajar tentang praktik pengelolaan dana desa hari ini. Terima kasih. Saya kira saya tidak akan menemui lagi Kepala Desa yang bisa terpilih tanpa harus membeli suara warganya. Di tengah derasnya arus utama para penjaja harga diri, Beliau tetap waras memegang pesan leluhur.

“Kalau bukan jujur, apalagi yang kita punya.”.

Malam Ahad, 19 Dzulhijjah 1444 H

Pantai Wambuliga, Desa Sombu, Kabupaten Wakatobi

Berani

Saya sedang mengisi pos layanan filial di Wakatobi waktu anak muda itu datang
mengkonsultasikan perihal kendala teknis pekerjaannya. Lalu saya pun lupa
bagaimana tepatnya obrolan kami bisa sampai pada kendala paling tidak teknis
dalam dunia birokrasi. Integritas.

Hygiene-motivation Theory bilang kalau uang (gaji) itu bukan jadi
sebab seseorang puas dalam pekerjaannya. Maka uang bukan segalanya. Namun
kolaborasi antara mahalnya tiket pulang kampung dengan buruknya lingkungan
pekerjaan itu hampir tidak ada obat. Frederick Herzberg belum sampai kesana.

Begitulah dunia kerja. Tantangannya jelas beda dengan dunia anak. Tapi ini
bukan dunia lain. Yang objek tontonannya tidak kasat mata. Ini dunia nyata.
Tempat orang-orang berhak mempertahankan nilainya sendiri.

Uang, Waktu & Kebahagiaan

Saya teringat akan sesi kuliah mikroekonomi di kampus perjuangan siang itu. Kata Bapak Dosen, kebanyakan orang tidak menyadari kalau waktu luang (leisure time) dalam takaran yang tepat bisa memaksimalkan kebahagiaan.

Jadi alih-alih lembur demi nyicil kerjaan yang menumpuk atau bahkan untuk nambah penghasilan, memilih menghabiskan waktu untuk bermain dengan anak; bercengkrama dengan isteri; atau berkunjung ke rumah orang tua, di dalam teori mikroekonomi yang paling liberal sekalipun sudah menjadi diskursus tentang ukuran kebahagiaan.

Maka menurut saya tidak berlebihan jika sebagian orang berpendapat adagium waktu adalah uang sudah berhasil melecehkan kemuliaan Sang Waktu. Bagaimana mungkin ia disejajarkan dengan alat tukar yang pada hakikatnya tidak punya kemampuan untuk mempertahankan nilainya sendiri. Maka apakah mungkin ia dianggap sebagai takaran penentu kadar kebahagiaan.

Gangguan

Bahkan menunggu balasan dari kawan yang sedang mengetik… di grup whatsapp sudah berhasil menghadirkan sensasi tersendiri. Lamat-lamat ada deru napas yang berkejaran dalam hening tatap. Tersandera layar. Dan kita merayakannya. Ironi.

Kini

Dan ternyata senja kala mIRC, YM, Friendster sudah lama sekali berlalu. selepas itu terbit fb, tw, dan ig yang hingga kini masih terus berusaha menyesuaikan diri dengan selera para pengguna baru. Yang paling anyar saya mengunduh telegram yang kontan disambut oleh sapaan teman di kampus kenangan dulu.

Kemudian ramai fenomena tiktok yang menurut saya sedikit di luar nalar. Tiba-tiba beberapa kawan kantor saya jadi sering berlagak seperti pemandu sorak. Dengan mulut komat-kamit plus gerakan tangan yang tidak elegan, kompak mereka mengikuti irama yang menurut saya terdengar cukup menganggu.

***

Kalau dulu whatsapp berhasil menambah jam kerja selepas kantor, kini zoom cs berhasil mengusik waktu kerja produktif saat di kantor. Belum lagi godaan serial podcast di youtube yang ternyata bisa disambi nyusun laporan kegiatan webinar zoom kemarin sore.

Orang-orang juga terlihat semakin gemar mengenakan earphone, headphone, haedset atau handsfree dimana saja mereka berada. Terlebih setelah harga headset bluetooth semakin terjangkau di pasaran. Di kantor pun demikian. Bahkan kita sampai ke tahap maklum begitu kawan yang disapa tidak segera menoleh. Kita telah bisa menerima keadaan bahwa mereka sedang membagi fokus untuk mendengarkan bebunyian diujung headset sambil berkejaran dengan deadline pekerjaan di ujung waktu.

***

Kita tiba di masa dimana teknologi berhasil memangkas jarak antara keinginan dan kenyataan. Tidak hanya buat mereka yang punya materi dan juga kuasa, orang biasa pun dapat dengan mudah menebus hampir semua hal dengan harga yang terjangkau. Belum lagi plus ongkir nol rupiah.

Bahkan tidak punya uang pun sekarang bukan jadi masalah. Selalu tersedia fitur bayar nanti atau cicil sekarang yang siap sedia merayu siapa saja yang mampir. Kini semua itu hanya sejauh lirikan mata dan gerakan jempol pada layar gawai cerdas kita.

****

Jeda,

Saya senang menyebutnya sebagai “Rajab The 19th, 1444”.

**

Pagi itu saya bertabrakan dengan seekor alpha male dari kawanan macaca brunnescens di kawasan Palagimata. Saya bergegas ke kantor, ia bergegas menyusul betinanya yang telah lebih dulu melompat dan berlarian menyeberang jalan. Maka kontak pun tak terhindarkan. Setelah sempat doyong sebentar, suzuki spin yang saya kendarai akhirnya tetap melaju.

Saya sempat menoleh ke belakang. Si monyet tampak kusut. Terduduk lunglai ia di pinggir jalan. Selepas itulah sayatan di celana abu-tua kehitaman saya nampak. Dan sebelum Khatib naik mimbar di jum’at siang yang cerah itu, sobek di dengkul sampai pawah bagian bawah saya sudah terjalin kembali. Sepuluh jahitan buat daging yang menganga. Enam belas lainnya untuk kulit yang melangah.

***

Terakhir kali dapat kesempatan serupa ini kalau tidak salah di Agustus 2015. Ada thypus dan gelaja demam berdarah yang menghampiri saya di Harapan Mulia III Nomor 15A. Terima kasih Bu i-i’ yang sudah menjadi Ibu Kosan terbaik saya sepanjang sejarah rantau saya di Ibu Kota. Waktu itu adalah saat paling produktif saya di medio 20-an saya. Saya memutuskan untuk mulai meniti jalan yang tidak terlampau ramai. Beberapa bulan sebelumnya saya mem-publish Terbatas di platform ini. Setapak yang nyaman. Senyaman hiking di Gede-Pangrango sebelum lima sentimeter naik ke layar perak.

****

Setelah nyaman menepi dari hiruk pikuk ramainya asap knalpot kota, insiden 26 jahitan akhirnya berhasil memaksa saya untuk punya lebih banyak waktu berpikir tentang apa yang sudah dan apa yang akan di medio 30-an saya. Apa yang sudah buat bekal refleksi diri sudah sampai dimana sekarang, dan apa yang akan untuk bahan bakar menyusun cerita nostalgia untuk masa depan berikutnya. Insya Allah.

*****

Utuh

Alhamdulillah,

Lengkap sudah ia. Sempurna. Akhirnya sampai jua.

Ada bahagia. Bukan berarti tanpa duka. Namun berdua, akan selalu lebih mudah. InsyaaAllah.

Paviliun Mawar RSUD Kota Kendari,
14 Muharram 1442/2 September 2020

H-5: Alumnus STM, Insinyur Jaringan

Ternyata memang sulit untuk bisa nulis dan nge-post tulisan setiap hari. Akhirnya saya pun sadar akan peliknya dunia orang dewasa seperti yang sudah saya karang sendiri dalam H-6: Sudah Sampai Mana Sekarang. Padahal draftnya sudah siap kemarin malam, cuman entah kenapa rasanya ia belum cukup pantas untuk mengudara. Mungkin begitulah peringai orang dewasa di mata jenaka para bocah: Tidak asik, terlampau banyak kalkulasi.

***

Saya selalu gagap gempita setiap kali diminta bos ngutak-ngatik komputernya yang lagi kena gangguan jaringan. Hanya saja setiap ada perintah, maka dengan sigap saya pun akan otomatis klak-klik sana-sini, mengecek sambungan kabel, mengulur waktu agar tetap dianggap fasih teknologi sambil berusaha sekuat otak mengingat kembali icon mana saja yang di klik oleh Mas-Mas teknisi jaringan waktu internet saya yang macet. Kalau bukan karena malu dan enggan dicap sebagai pemuda gagap teknologi, pasti sudah saya telepon para teknisi yang selalu ramah serta murah salam juga sapa itu.

Senin sore kemarin, salah satu teknisi jaringan bertandang ke ruangan kami yang baru saja selesai direnovasi. Tidak seperti biasanya, kendala jaringan kali ini sepertinya cukup rumit. “Lagi minta reset IP port LAN ini Mas, biar bisa ganti perangkat. Dari tadi udah di-reset sama teman, cuman ini belum mau nyambung.”, begitu katanya sambil kembali mengulang prosedur ngecek aplikasi whatsapp – nusuk peniti ke lubang reset perangkat – geleng-geleng kepala, begitu terus setiap beberapa menit.

“Minta reset IP port LAN, maksudnya gimana Mas?” Saya pun membuka obrolan demi mengingat salah satu “Visi Saya di Tahun 2019” itu ada sangkut-pautnya dengan teknologi informasi. “Oh, gini Mas, kurang-lebih dua tahun lalu ada kebijakan kantor bahwa setiap satu port LAN (Local Area Network) itu dedicated untuk satu perangkat. Port ini kan kemarin untuk router disini, ini mau diganti ke access point ini”, begitu penjelasan beliau sambil nunjuk alat pelontar sinyal wifi disampingnya.

Maka terselenggaralah obrolan dan praktik jaringan saya sore itu. dimulai dari, apa itu port? Beda WAN dan LAN, morfologinya serta analoginya. Beda router, switch, dan hub? internet itu sebenarnya benda macam apa, kalau listrik punya generator dan pembangkit, nah gimana dengan internet, bagaimana cara dia terbentuk? Bukannya listrik dan internet sama-sama mengalir via kabel? Mengapa fiber optik? Analogi bandwidth, mengapa dia mahal, mengapa kecepatan akses kita kalah dengan negara lain. Dan akhirnya menjelang maghrib, sesi itu diakhiri dengan praktik memasang dan men-setting router/switch/hub untuk membagi akses jaringan internet rumahan ke beberapa rumah.  Diskusi serta pertanyaan “tabu” tersebut sebenarnya yang sedari dulu mau saya tanyakan ke teman-teman yang paham, tapi selalu malu karena takut dibilang, “yaelah Dhan, masak gitu aja nda tau?” Kawan, sudah bolak balik saya baca hal-hal di atas itu pas  jaman  kuliah dulu, tapi belum pernah saya se-mafhum kemarin.

****

Mas Imam Jaringan, begitu nama beliau di data kontak telepon kawan saya. Seorang Alumnus STM Jurusan Elektro. Di sela-sela kesibukannya memastikan kesehatan jaringan di kantor kami, beliau sukses menyelesaikan studi sebagai insinyur jaringan. Waktu saya tanya kenapa milih spesialisasi jaringan bukannya pemrograman? “Saya mikirnya sederhana aja Mas waktu itu, kalau jaringan (internet) nya saya putus, semua aplikasi programmer kan nda ada gunanya Mas. Jadi saya harus bisa nguasain jaringan Mas”, begitu katanya.

Dan sore kemarin, beliau saya nobatkan menjadi guru jaringan dan perangkat keras saya. Setahu saya, tidak banyak teknisi yang fasih menjelaskan teori dan definisi lengkap dengan analogi sederhana, pun dosen-dosen saya di kampus dulu. Lantas saya tanya kenapa nda coba-coba ngajar di kampus, kan lumayan kalau jadi asisten dosen. Jawabannya singkat, di kantor seringnya sampai malam Mas, nda sempat lagi”.

*****

H-6: Sudah Sampai Mana Sekarang.

Ahad, 7 Shafar 1441 H/6 Oktober 2019 M. Harusnya kemarin saya sempatkan juga buat nyari tau sejak kapan kebiasaan menggandengkan penanggalan Hijriyyah dengan Penanggalan Masehi ini mulai saya geluti.

***

Tidak sedetail Memoar Bung Hatta memang, “Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi”, yang berhasil buat saya terheran-heran bagaimana cara Beliau merekam detail kejadian puluhan tahun masa bakti Beliau untuk pertiwi. Tapi saya selalu bersyukur karena di masa lalu, tepatnya 15 tahun silam, saya mulai menulis jurnal harian. Sebuah kebiasaan yang hingga kini masih berusaha saya lanjutkan. Semangatnya macam pasang surut air laut di belakang rumah Nenek kami di Baubau, jadi agak kurang pas kalau dinamakan jurnal harian. Maka untuk keperluan tulisan ini, saya sebut saja ia dengan tajuk “Tentang Saya: Sebuah Jurnal”.

Jurnal itulah yang membuat saya sanggup menyajikan tanggal peristiwa, rute jalan kaki dan detail unik lainnya dengan fasih dalam tulisan saya sebelumnya, H-7: Si Tuan dan Nyonya Indie. Maka ceritanya, untuk keperluan “riset” nulis kemarin, saya bongkarlah edisi jurnal itu periode 2008-2014. Dan saya terhenti cukup lama pada edisi 2009, pada sebuah lembar tertulis dengan angkuh “Visi Saya di Tahun 2019”.

***

Saya selalu meyakinkan diri untuk tetap menulis, walaupun untuk diri saya sendiri. Masa-masa mulai nulis di FB, melompat ke Blogspot hingga kini mampir ke WordPress, motivasinya campur sari. Pernah ada masa-masa harap-harap cemas menanti like ataupun komentar, pertentangan batin nge-post tulisan atau tidak, ngecek draft yang numpuk dan lupa dulu itu idenya tentang apa, mantengin statistik pengunjung,  hingga nelusurin detail pengunjung tertentu bisa mampir karena tautan atau kata kunci pencarian apa. Tetapi begitulah, menulis juga seperti hidup. Dia punya lucunya masa kanak-kanak, gelisahnya periode puber, hingga peliknya dunia orang dewasa. Maka saya nikmati saja setiap fasenya, dan ber-azzam untuk terus menulis walaupun untuk diri saya sendiri.

****

Dan Alhamdulillah, setelah termenung beberapa lama, pun saya sadar 2019 akan tetap dan terus mengalir. Dia akan tidak mungkin dibendung. Maka saya pun tau, sudah sampai mana saya sekarang.

*****

H-7: Si Tuan dan Nyonya Indie

“Udah tua kita Boi, kau 30 aku 31, hahaha …”, begitu katanya.

***

Kemarin, saya jumpa kawan lama. Dari catatan saya,  kami  saling kenal setidaknya sejak 16 Oktober 2008 lalu di kos-kosan dua-lantai, di sebuah sudut Kampung Jurangmangu, Tangerang Selatan.

Setelah akrab, bersama kami selalu merayakan “berbeda” nya kami dari arus utama moda pergaulan. Kami melarat, tapi berambisi punya label gaul. Tapi bukan gaul yang biasa seperti kebanyakan kawula muda di jaman itu. Gaul yang tetap keren walau pas-pasan. Agar mudah dipahami, mungkin kami mendefinisikan diri sebagai anak “indie” Ibu Kota pada jaman itu.

***
Sebut saja dia Si Tuan. Malam ini Beliau hadir bersama Nyonya. Kata Si Nyonya, “ini harinya Dhani”. Maka saya diharamkan menebus kudapan, makanan dan minuman di warung makan indomie yang kini sedang terus naik daun di bilangan Raden Saleh,  salah satu tempat kongkow “anak indie” arus-utama Ibu Kota pada jaman ini.

***

Pertama kali naik gunung, saya ya sama Beliau ini. Waktu itu di ujung Desember tahun 2009, kami naik Gede via Jalur Gunung Puteri sebagai peserta pendakian umum STAPALA. Di tengah jalur pendakian kami jumpa barisan prajurit muda ber-helm baja yang sedang latihan fisik dan kebugaran di medan pegunungan. Kalau mereka banyak istirahat, sepengamatan kami Bapak pelatih mereka akan tidak tinggal diam.

Pertama kali backpacking juga sama Tuan ini. Waktu itu 14-21 Maret 2010, kami “menggembel” dengan rute Jakarta-Bandung-Jogja-Klaten-Jogja-Solo-Malang-Lawang.

Kami menikmati bahagianya dicuekin  SPG penyampai brosur di Paris van Java Bandung (mungkin karena saking kucelnya kami pasca jalan kaki dengan rute Cisitu-Simpang Dago-Gedung Sate-St. Kiaracondong-Cihampelas Walk-Sukajadi (RS Hasan Sadikin)- Paris van Java), menerima tumpangan dan traktiran kawan SMA di kawasan ITB, ngerepoti kawan kuliah di Klaten (ngebajak liburannya buat anterin kami keliling jogja), ngerepoti kawan SMA lagi di UPN Veteran Jogja sampai diajak ke Inaugurasi Mahasiswa Baru Perminyakan di Kaliurang, lantas kehabisan duit di St. Solo Balapan, dan akhirnya jalan kaki lagi keliling kota Solo sekalian menuju St. Solo Jebres. Demi apa? demi keabsahan memenuhi definisi backpacker kami kala itu,  menenteng tas ransel, jalan kaki keliling kota, nda pake peta – yakin akan plang hijau penunjuk arah jalan & nanya orang-orang di pinggir dan simpang jalan, berbekal modal pas-pasan serta dengan senang hati menerima tumpangan kendaraan, penginapan dan juga sedekah kawan-kawan di kota tujuan singgah.

***

Kami punya lanjutan kisah tentang hutan dan gunung. Alhamdulillah, di Sabtu Pagi , 19 Mei 2012 kami sempat berbagi  susu coklat hangat dan  potongan silverqueen di Puncak Mahameru. Rabu Subuh, 28 Mei 2014 kami pernah masak sarapan bareng di Camp Waifuku, sebuah dataran yg berjarak beberapa menit perjalanan ke pucuk gugus kepulauan Maluku, Puncak Binaiya.

Berbekal itu, akhirnya pada Sabtu-Ahad, 27-28 Juli lalu, Si Tuan ngajak Si Nyonya ke Gunung Gede via Jalur Cibodas. Berkisahlah mereka tentang pendakian perdana mereka bersama. Si Nyonya sempat ngambek katanya karena dilarang sering-sering istirahat. “Nanti malah berat kalau mau jalan lagi”, kata Si Tuan bercerita. Dicatutlah nama-nama kami yang dulu bareng di Gede, Semeru dan Binaiya, dan dikisahkanlah tentang kebiasaan kami dulu yang katanya jarang istirahat kalau lagi naik gunung.

Sekadar info, dulu itu bukannya saya nda capek, cuman karena dulu dipandang kuat dan tangguh dalam perjalanan itu “masih” menjadi kebutuhan primer di hadapan kawan-kawan,  maka serupa itulah peringai saya di perjalanan. Dan cilakanya teman-teman juga menyambut ajakan jarang istirahat itu.

Maka mohon maaf saya buat Si Nyonya, jangan kapok untuk kembali meniti langkah di punggungan bukit, menuju puncak dan kemudian turun kembali dengan selamat ke Basecamp. Karena saya masih percaya dengan kaidah klise, “salah satu cara terbaik mengenal kawan itu adalah dengan mendaki gunung, bersama”.

***

Dari sore pukul 4 lebih kami jumpa dan baru usai setelah lewat pukul 9.  Nostalgia tentang masa muda yang meskipun kere tapi banyak angkuhnya. Selain dilarang menebus setiap menu yang kami jejalkan ke dasar lambung , saya juga dihadiahi dua buah buku. Kawan yang baik adalah mereka yang turut membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik. Dan memberi buku untuk dibaca buat bekal menjalani hidup, adalah salah satunya.

Selanjutnya,  kalau ada panutan saya dalam ilmu kerendahan hati, maka si Tuan ini salah satu yang paling menyolok. Sebagai pejabat yang setiap tahun wajib ngisi dan nyerahin laporan harta kekayaan ke KPK, Beliau masih bangga membelah Ibu kota dengan Honda Supra Fit-nya, sejak  jaman kuliah nan kere dulu sampai sekarang sudah berkeluarga. Dan ajaibnya Si Nyonya pun nda keberatan diajak keliling kota pake supra fit. Sedikit antik memang dan juga agak berbeda dibanding kebanyakan kaumnya.

Si Tuan ini juga pantang berbangga dengan tempat kerjanya dan lebih senang disebut “Tukang Cuci Sepatu” waktu  dulu punya toko sepatu saat mengabdi di ujung timur Kalimantan. Atau sebagai “Penjual Kopi” begitu Kedai Kopi besutan Tuan dan Nyonya ini nanti sudah mulai menerima pembeli di Kota Malang.

Cita-cita Tuan dan Nyonya ini sederhana saja. Punya Bisnis dan mau keliling dunia. Sebagai sahabat, senang rasanya melihat si Tuan bisa jumpa dengan Nyonya nan unik ini dan bisa tetap menjadi ‘pasangan indie’ yang pantang melaju di arus utama belantika hidup Ibu Kota.  Mudah-mudahan kalau umur kita dipanjangkan, bolehlah kita tengok lagi episode hidup 20’an dan 30’an kita. Nanti, di puncak masa muda, insyaaAllah.

****

Begitulah sudah, kejadian Sabtu sore hingga malam kemarin, 6 Shafar 1441 Hijriyyah atau 5 Oktober 2019 Masehi. Terima kasih buat kudapan, makanan dan minuman untuk usus dan otot saya; buat buku untuk pikiran dan hati saya; buat nostalgia untuk masa depan saya; dan juga buat sharing mimpi dan perspektif hidup untuk pijakan saya di hari ini.

jadi, kapan kita kemana (lagi) Boi?

*****